Hukum
Adat di Indonesia
Hukum
adat didefinisikan sebagai suatu aturan atau kebiasaan beserta norma-norma yang
berlaku di suatu wilayah tertentu dan dianut oleh sekelompok orang di wilayah
tersebut sebagai sumber hukum. Ditinjau dari segi pemakaian hukum adat
diartikan sebagai tingkah laku manusia maka segala sesuatu yang telah terjadi
atau yang biasa terjadi di dalam masyarakat dapat dijadikan sebagai suatu
hukum.
Hukum
adat juga merupakan hukum yang sudah mendarah daging di Indonesia. Bahkan bisa
dibilang bahwa hukum adat adalah cikal bakal munculnya hukum perdata yang ada
di Indonesia. Negara kepulauan terbesar ini mempunyai banyak sekali suku yang
memegang dan percaya pada hukum adat mereka masing-masing. Meskipun pada
akhirnya sebagian besar hukum adat digantikan oleh hukum perundang-undangan
yang dibentuk oleh negara, namun masih banyak masyarakat yang tetap menganut
hukum adat.
Dalam
perkembangannya, hukum adat mengandung dua arti yaitu :
1. Hukum
kebiasaan yang bersifat tradisional disebut juga hukum adat. Yaitu hukum
yang dipertahankan dan berlaku di lingkungan masyarakat hukum adat
tertentu. Contoh : hukum adat Batak, hukum adat Jawa, dll.
2. Hukum
kebiasaan. Yaitu hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, dalam
hubungan pergaulan antara yang satu dan yang lain, dalam lembaga-lembaga
masyarakat dan dalam lembaga-lembaga kenegaraan, kesemuanya yang tidak tertulis
dalam bentuk perundangan.
Ciri-Ciri Hukum Adat:
1. Hukum
adat tidak termodifikasi dan tidak tertuang di dalam perundang-undangan.
2. Hukum
adat tidak disusun secara sistematis.
3. Hukum
adat tidak dihimpun dalam bentuk kitab atau buku undang-undang hukum.
4. Putusan
dalam hukum adat tidak berdasarkan pertimbangan tetapi lebih cenderung
berdasarkan kebiasaan yang ada di dalam masyarakat.
5. Pasal-pasal
yang terdapat di dalam hukum adat tidak mempunyai penjelasan secara rinci.
Dasar
Hukum Sah Berlakunya Hukum Adat
Dalam
Batang Tubuh UUD 1945, tidak satupun pasal yang mengatur tentang hukum adat.
Oleh karena itu, aturan untuk berlakunya kembali hukum adat ada pada Aturan
Peralihan UUD 1945 Pasal II, yang berbunyi :
“Segala
badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum
diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Aturan
Peralihan Pasal II ini menjadi dasar hukum sah berlakunya hukum adat. Dalam
UUDS 1950 Pasal 104 disebutkan bahwa segala keputusan pengadilan harus berisi
alasan-alasannya dan dalam perkara hukuman menyebut aturanaturan Undang-Undang
dan aturan adat yang dijadikan dasar hukuman itu. Tetapi UUDS 1950 ini
pelaksanaannya belum ada, maka kembali ke Aturan Peralihan UUd 1945.
Dalam
Pasal 131 ayat 2 sub b. I.S. menyebutkan bahwa bagi golongan hukum Indonesia
asli dan Timur asing berlaku hukum adat mereka, tetapi bila kepentingan sosial
mereka membutuhkannya, maka pembuat Undang-Undang dapat menentukan bagi mereka
:
1.
Hukum Eropa
2.
Hukum Eropa yang telah diubah
3.
Hukum bagi beberapa golongan bersama dan
4.
Hukum baru yaitu hukum yang merupakan
sintese antara adat dan hukum mereka yaitu hukum Eropa.
Pasal
131 ini ditujukan pada Undang-Undangnya, bukan pada hakim yang menyelesaikan
sengketa Eropa dan Bumi Putera. Pasal 131 ayat (6) menyebutkan bahwa bila
terjadi perselisihan sebelum terjadi kodifikasi maka yang berlaku adalah hukum
adat mereka, dengan syarat bila berhubungan dengan Eropa maka yang berlaku
adalah hukum Eropa. Dalam UU No. 19 tahun 1964 pasal 23 ayat (1) menyebutkan
bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat dasar-dasar dan
alasan-alasan putusan itu jug aharus memuat pula pasal-pasal tertentu dari
peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan
dasar untuk mengadili. UU No. 19 tahun 1964 ini direfisi jadi UU No. 14 tahun
1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman karena dalam UU No. 19 tersebut
tersirat adanya campur tangan presiden yang terlalu besar dalam kekuasaan
yudikatif. Dalam Bagian Penjelasan Umum UU No. 14 tahun 1970 disebutkan bahwa
yang dimansud dengan hukum yang tidak tertulis itu adalah hukum adat.
Dalam
UU No. 14 tahun 1970 Pasal 27 (1) ditegaskan bahwa hakim sebagai penegak hukum
dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilainilai hukum yang hidup
di masyarakat.
Dari
uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang menjadi dasar
berlakunya hukum adat di Indonesia adalah:
1.
Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menjadi
dasar berlakunya kembali UUD 1945.
2.
Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945
3.
Pasal 24 UUD 1945 tentang kekuasaan
kehakiman
4.
Pasal 7 (1) UU No. 14/ 1970 tentang
Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.
Contoh Hukum Adat Di Indonesia
MATARAM, KOMPAS.com -
Masyarakat Adat Bayan, di Kabupaten Lombok Utara (KLU), Nusa Tenggara Barat
(NTB) memberlakukan denda satu ekor kerbau bagi warganya yang menebang satu
pohon di hutan adat.
Rianom Ketua Lembaga Pranata Adat Gubuk Karang Bajo, Kecamatan Bayan menjelaskan, ini merupakan salah satu kearifan lokal masyarakat adat Bayan dalam menjaga kelestarian lingkungan terutama hutan. Hal ini tidak lepas dari peran hukum adat yang masih dipertahankan dan dilaksanakan sampai sekarang.
"Ada awig-awignya (aturan), barang siapa yang menebang satu pohon di hutan adat akan diberatkan sanksi denda kerbau satu ekor," kata Rianom dalam kegiatan field trips media to Bayan bersama Somasi NTB, Minggu (18/1/2016).
Selain kerbau, pelaku penebangan pohon juga dikenai denda di antaranya 244 keping uang bolong, beras 1 kwintal, gula, 44 butir kelapa, ayam, kapur sirih dan kayu bakar. "Jika denda tersebut belum dibayar, maka dia tidak dilayani kebutuhan adat apa pun dan tidak boleh mengikuti acara adat. Termasuk saat akan menikahkan anaknya, mereka tidak akan dilayani," jelas Rianom.
Denda tersebut nantinya akan diserahkan ke pemangku adat untuk menggelar ritual penyucian. Sementara kerbau dan beras akan dimasak dan dimakan bersama seluruh masyarakat adat Bayan.
Rianom mengatakan, aturan ini juga dikenakan kepada masyarakat umum. Meski bukan bagian dari masyarakat adat, mereka yang terbukti menebang atau merusak hutan adat akan dilaporkan kepada pemerintah daerah.
"Mereka dikenai sanksi yang sama. Denda ini (kerbau) diberlakukan untuk semua. Karena kalau hutan rusak maka akan berpengaruh luas," katanya.
Hingga saat ini terdapat 21 titik hutan adat di KLU yang masih terjaga kelestariannya. Untuk menjaganya, setiap hutan adat memiliki pemangku yang bertugas menjaga hutan dan menjalani awig-awig di hutan adat.
Selain pemangku yang bertanggung jawab menjaga hutan adat, masyarakat adat juga memiliki tanggung jawab sama untuk menjaga dan memelihara kelestarian hutan.
Pasalnya,
bagi masyarakat adat Bayan, hutan merupakan tempat yang harus dijaga
kelestariannya karena di sanalah sumber kehidupan atau air berasal. Oleh karena
itu menjaga hutan merupakan tanggung jawab bersama masyarakat adat.
Sumber:
http://www.informasi-pendidikan.com/2015/03/pengertian-hukum-adat.html
(29/04/2016 10:59)
http://www.ilmuhukum.net/2014/01/beberapa-contoh-hukum-adat-yang-ada-di.html
(29/04/2016 11:06)
http://hukum.unigo.ac.id/berita-29/hukum-adat-di-indonesia.html
(29/04/2016 11:15)
http://travel.kompas.com/read/2016/01/19/091100627/Di.Desa.Adat.Bayan.Lombok.Tebang.Pohon.Didenda.Kerbau.
(29/04/2016 11:25)
Analisis:
Indonesia
merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, di mana diakui
keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam praktiknya
(deskritif) sebagian masyarakat terutama masyarakat daerah masih menggunakan
hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya. Dikarenakan hukum adat
dibentuk menurut kebiasaan masyarakat daerah itu sendiri yang memiliki sanksi
dan sistem yang riil.
Sebagai
salah satu contoh yang telah dijelaskan dalam artikel diatas bahwa Masyarakat Adat
Bayan, Kabupaten Lombok Utara yang memberlakukan sistem denda atau sanksi satu
ekor kerbau setiap ada yang menebang satu pohon di hutan adat tersebut. Dalam beberapa
kasus demi menjaga kelestarian lingkungan terutama hutan selain denda 1 ekor
kerbau pelaku penebangan pohon juga dikenai denda di antaranya 244 keping uang
bolong, beras 1 kwintal, gula, 44 butir kelapa, ayam, kapur sirih dan kayu
bakar. Dan jika denda tersebut belum dibayar, maka dia tidak dilayani kebutuhan
adat apa pun dan tidak boleh mengikuti acara adat. Termasuk saat akan
menikahkan anaknya, mereka tidak akan dilayani. Begitulah alasan mengapa
masyarakat daerah lebih menganut ke dalam peraturan atau hukum adat yang
berlaku di daerahnya.
Kita
dapat mengambil sisi positif dari masyarakat Lombok Utara di zaman era
globalisasi ini yang masih mempertahankan nilai budaya, norma, adat dan hukum
yang berlaku, untuk tetap menjaga kelestarian hutan dari tangan-tangan yang
tidak bertanggung jawab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar