Jumat, 29 April 2016

Tulisan 2_SS_AHDE

Hukum Adat di Indonesia

Hukum adat didefinisikan sebagai suatu aturan atau kebiasaan beserta norma-norma yang berlaku di suatu wilayah tertentu dan dianut oleh sekelompok orang di wilayah tersebut sebagai sumber hukum. Ditinjau dari segi pemakaian hukum adat diartikan sebagai tingkah laku manusia maka segala sesuatu yang telah terjadi atau yang biasa terjadi di dalam masyarakat dapat dijadikan sebagai suatu hukum.
Hukum adat juga merupakan hukum yang sudah mendarah daging di Indonesia. Bahkan bisa dibilang bahwa hukum adat adalah cikal bakal munculnya hukum perdata yang ada di Indonesia. Negara kepulauan terbesar ini mempunyai banyak sekali suku yang memegang dan percaya pada hukum adat mereka masing-masing. Meskipun pada akhirnya sebagian besar hukum adat digantikan oleh hukum perundang-undangan yang dibentuk oleh negara, namun masih banyak masyarakat yang tetap menganut hukum adat. 
Dalam perkembangannya, hukum adat mengandung dua arti yaitu :
1.    Hukum kebiasaan yang bersifat tradisional disebut juga hukum adat. Yaitu hukum yang dipertahankan dan berlaku di lingkungan masyarakat hukum adat tertentu. Contoh : hukum adat Batak, hukum adat Jawa, dll.
2.    Hukum kebiasaan. Yaitu hukum yang berlaku dalam kehidupan masyarakat, dalam hubungan pergaulan antara yang satu dan yang lain, dalam lembaga-lembaga masyarakat dan dalam lembaga-lembaga kenegaraan, kesemuanya yang tidak tertulis dalam bentuk perundangan.

Ciri-Ciri Hukum Adat:
      1.      Hukum adat tidak termodifikasi dan tidak tertuang di dalam perundang-undangan.
      2.      Hukum adat tidak disusun secara sistematis.
      3.      Hukum adat tidak dihimpun dalam bentuk kitab atau buku undang-undang hukum.
    4.      Putusan dalam hukum adat tidak berdasarkan pertimbangan tetapi lebih cenderung berdasarkan kebiasaan yang ada di dalam masyarakat.
     5.      Pasal-pasal yang terdapat di dalam hukum adat tidak mempunyai penjelasan secara rinci.

Dasar Hukum Sah Berlakunya Hukum Adat
Dalam Batang Tubuh UUD 1945, tidak satupun pasal yang mengatur tentang hukum adat. Oleh karena itu, aturan untuk berlakunya kembali hukum adat ada pada Aturan Peralihan UUD 1945 Pasal II, yang berbunyi :
“Segala badan Negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Aturan Peralihan Pasal II ini menjadi dasar hukum sah berlakunya hukum adat. Dalam UUDS 1950 Pasal 104 disebutkan bahwa segala keputusan pengadilan harus berisi alasan-alasannya dan dalam perkara hukuman menyebut aturanaturan Undang-Undang dan aturan adat yang dijadikan dasar hukuman itu. Tetapi UUDS 1950 ini pelaksanaannya belum ada, maka kembali ke Aturan Peralihan UUd 1945.
Dalam Pasal 131 ayat 2 sub b. I.S. menyebutkan bahwa bagi golongan hukum Indonesia asli dan Timur asing berlaku hukum adat mereka, tetapi bila kepentingan sosial mereka membutuhkannya, maka pembuat Undang-Undang dapat menentukan bagi mereka :
1.        Hukum Eropa
2.        Hukum Eropa yang telah diubah
3.        Hukum bagi beberapa golongan bersama dan
4.        Hukum baru yaitu hukum yang merupakan sintese antara adat dan hukum mereka yaitu hukum Eropa.
Pasal 131 ini ditujukan pada Undang-Undangnya, bukan pada hakim yang menyelesaikan sengketa Eropa dan Bumi Putera. Pasal 131 ayat (6) menyebutkan bahwa bila terjadi perselisihan sebelum terjadi kodifikasi maka yang berlaku adalah hukum adat mereka, dengan syarat bila berhubungan dengan Eropa maka yang berlaku adalah hukum Eropa. Dalam UU No. 19 tahun 1964 pasal 23 ayat (1) menyebutkan bahwa segala putusan pengadilan selain harus memuat dasar-dasar dan alasan-alasan putusan itu jug aharus memuat pula pasal-pasal tertentu dari peraturan yang bersangkutan atau sumber hukum tidak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili. UU No. 19 tahun 1964 ini direfisi jadi UU No. 14 tahun 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman karena dalam UU No. 19 tersebut tersirat adanya campur tangan presiden yang terlalu besar dalam kekuasaan yudikatif. Dalam Bagian Penjelasan Umum UU No. 14 tahun 1970 disebutkan bahwa yang dimansud dengan hukum yang tidak tertulis itu adalah hukum adat.
Dalam UU No. 14 tahun 1970 Pasal 27 (1) ditegaskan bahwa hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib menggali, mengikuti dan memahami nilainilai hukum yang hidup di masyarakat.
Dari uraian di atas dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang menjadi dasar berlakunya hukum adat di Indonesia adalah:
1.        Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menjadi dasar berlakunya kembali UUD 1945.
2.        Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945
3.        Pasal 24 UUD 1945 tentang kekuasaan kehakiman
4.        Pasal 7 (1) UU No. 14/ 1970 tentang Pokok-Pokok Kekuasaan Kehakiman.

Contoh Hukum Adat Di Indonesia
MATARAM, KOMPAS.com - Masyarakat Adat Bayan, di Kabupaten Lombok Utara (KLU), Nusa Tenggara Barat (NTB) memberlakukan denda satu ekor kerbau bagi warganya yang menebang satu pohon di hutan adat.

Rianom Ketua Lembaga Pranata Adat Gubuk Karang Bajo, Kecamatan Bayan menjelaskan, ini merupakan salah satu kearifan lokal masyarakat adat Bayan dalam menjaga kelestarian lingkungan terutama hutan. Hal ini tidak lepas dari peran hukum adat yang masih dipertahankan dan dilaksanakan sampai sekarang.

"Ada awig-awignya (aturan), barang siapa yang menebang satu pohon di hutan adat akan diberatkan sanksi denda kerbau satu ekor," kata Rianom dalam kegiatan field trips media to Bayan bersama Somasi NTB, Minggu (18/1/2016).

Selain kerbau, pelaku penebangan pohon juga dikenai denda di antaranya 244 keping uang bolong, beras 1 kwintal, gula, 44 butir kelapa, ayam, kapur sirih dan kayu bakar. "Jika denda tersebut belum dibayar, maka dia tidak dilayani kebutuhan adat apa pun dan tidak boleh mengikuti acara adat. Termasuk saat akan menikahkan anaknya, mereka tidak akan dilayani," jelas Rianom.

Denda tersebut nantinya akan diserahkan ke pemangku adat untuk menggelar ritual penyucian. Sementara kerbau dan beras akan dimasak dan dimakan bersama seluruh masyarakat adat Bayan.

Rianom mengatakan, aturan ini juga dikenakan kepada masyarakat umum. Meski bukan bagian dari masyarakat adat, mereka yang terbukti menebang atau merusak hutan adat akan dilaporkan kepada pemerintah daerah.

"Mereka dikenai sanksi yang sama. Denda ini (kerbau) diberlakukan untuk semua. Karena kalau hutan rusak maka akan berpengaruh luas," katanya.

Hingga saat ini terdapat 21 titik hutan adat di KLU yang masih terjaga kelestariannya. Untuk menjaganya, setiap hutan adat memiliki pemangku yang bertugas menjaga hutan dan menjalani awig-awig di hutan adat.

Selain pemangku yang bertanggung jawab menjaga hutan adat, masyarakat adat juga memiliki tanggung jawab sama untuk menjaga dan memelihara kelestarian hutan.
Pasalnya, bagi masyarakat adat Bayan, hutan merupakan tempat yang harus dijaga kelestariannya karena di sanalah sumber kehidupan atau air berasal. Oleh karena itu menjaga hutan merupakan tanggung jawab bersama masyarakat adat.

Sumber:

Analisis:
Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, di mana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam praktiknya (deskritif) sebagian masyarakat terutama masyarakat daerah masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya. Dikarenakan hukum adat dibentuk menurut kebiasaan masyarakat daerah itu sendiri yang memiliki sanksi dan sistem yang riil.
Sebagai salah satu contoh yang telah dijelaskan dalam artikel diatas bahwa Masyarakat Adat Bayan, Kabupaten Lombok Utara yang memberlakukan sistem denda atau sanksi satu ekor kerbau setiap ada yang menebang satu pohon di hutan adat tersebut. Dalam beberapa kasus demi menjaga kelestarian lingkungan terutama hutan selain denda 1 ekor kerbau pelaku penebangan pohon juga dikenai denda di antaranya 244 keping uang bolong, beras 1 kwintal, gula, 44 butir kelapa, ayam, kapur sirih dan kayu bakar. Dan jika denda tersebut belum dibayar, maka dia tidak dilayani kebutuhan adat apa pun dan tidak boleh mengikuti acara adat. Termasuk saat akan menikahkan anaknya, mereka tidak akan dilayani. Begitulah alasan mengapa masyarakat daerah lebih menganut ke dalam peraturan atau hukum adat yang berlaku di daerahnya.
Kita dapat mengambil sisi positif dari masyarakat Lombok Utara di zaman era globalisasi ini yang masih mempertahankan nilai budaya, norma, adat dan hukum yang berlaku, untuk tetap menjaga kelestarian hutan dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar