ETIKA PROFESI AKUNTANSI
“ISU ETIKA SIGNIFIKAN DALAM DUNIA BISNIS DAN PROFESI”
Disusun Oleh:
Nama : Mardhiah
Thahirah
NPM : 26214360
Kelas : 4EB06
FAKULTAS EKONOMI JURUSAN AKUNTANSI
Mata
Kuliah: Etika Profesi Akuntansi
Isu Etika Signifikan Dalam Dunia Bisnis Dan Profesi
I.
Benturan
Kepentingan (Conflict of Interests)
Menurut Hartman dan Desjardins (2012), benturan
kepentingan adalah terjadi ketika seseorang memegang sebuah posisi di mana ia
diberikan kepercayaan untuk membuat penilaian atas nama pihak lain, namun kepentingan
atau kewajiban pribadinya bertentangan (berkonflik) dengan kepentingan atau
kewajiban pihak lainnya itu. Benturan kepentingan juga timbul ketika kewajiban
etis seseorang dalam tugasnya berbenturan dengan kepentingan pribadi. Benturan
kepentingan mempengaruhi kepentingan publik atau perusahaan, yaitu pengabaian
kepentingan publik demi kepentingan pribadi baik finansial maupun nonfinansial.
Selain itu, konflik kepentingan mempengaruhi pengambilan keputusan yang
bertujuan meluluskan kepentingan pribadinya. Berdasarkan definisi-definisi
tersebut, benturan kepentingan merupakan masalah penting karena bagian dari
tindakan yang tidak etis.
Benturan kepentingan adalah suatu
keadaan sewaktu seseorang pada posisi yang memerlukan kepercayaan, seperti
akuntan, pengacara, eksekutif atau direktur suatu perusahaan yang mana memiliki
kepentingan profesional dan pribadi yang bersinggungan. Persinggungan
kepentingan ini dapat menyulitkan orang tersebut untuk menjalankan tugasnya.
Suatu benturan kepentingan dapat mengurangi kepercayaan terhadap seseorang atau
bahkan terhadap suatu profesi. Dalam pengertiannya, benturan kepentingan tidak
semata-mata suatu konflik antara kepentingan yang berlawanan, meskipun
sebenarnya hal ini terkait juga. Semua situasi konflik kepentingan adalah
kecurigaan dari segi moral. Oleh karena itu, sangat penting bagi
karyawan, manajer, direksi, dan profesional seperti akuntan baik internal
maupun eksternal untuk peka terhadap situasi yang sudah atau akan menimbulkan
konflik kepentingan.
Benturan kepentingan masih bersifat
potensial ketika jika dan hanya jika pengambil keputusan belum berada dalam
situasi di mana dia harus membuat pertimbangan. Konflik kepentingan benar-benar
terjadi ketika jika dan hanya jika pengambil keputusan sudah berada pada
situasi di mana dia harus membuat pertimbangan. Terkadang konflik kepentingan
dikatakan terjadi pada situasi di mana konflik kepentingan tidak ada tetapi
karena kesenjangan informasi antar pihak yang satu dan lainnya mengakibatkan
pengambil keputusan diduga melakukan kesalahan.
Salah satu contoh adanya konflik
kepentingan adalah kasus manajemen laba Enron yang melibatkan manajer, pemegang
saham dan auditor. Semua pihak yang terlibat bertindak atas kepentingan pribadi
mereka sendiri. Pemegang saham hanya tertarik kepada hasil keuangan yang
bertambah terhadap investasi mereka di dalam perusahaan. Sedangkan para manajer
berkepentingan terhadap kompensasi keuangan dan syarat-syarat yang menyertai
dalam hubungan tersebut. Akibat perbedaan kepentingan ini adalah masing-masing
pihak berusaha memperbesar keuntungan pribadi masing-masing. Pemegang saham
menginginkan pengembalian yang sebesar-besarnya, yaitu dicerminkan dengan
kenaikan porsi dividen dari tiap saham yang dimilikinya. Manajer menginginkan
kepentingannya diakomodir yaitu pemberian kompensasi, bonus, dan insentif
lainnya yang memadai dan sebesar-besarnya atas kinerjanya. Akibatnya, manajer
berada pada situasi konflik kepentingan dan terjadilah penyalahgunaan tanggung
jawab dengan cara memanipulasi angka laba pada laporan keuangan eksternal
sehingga seolah-olah kinerja perusahaan baik demi kepentingan finansial
pribadi.
Konflik kepentingan pada kasus mega
skandal Enron tidak hanya terjadi antara manajer dan pemegang saham, tetapi
juga melibatkan kantor akuntan publik ternama saat itu, yaitu KAP Arthur
Andersen. David Duncan merupakan kepala akuntan profesional yang dipekerjakan
Arthur Andersen, walaupun ia dibayar dan ditugaskan untuk bekerja di Enron.
Situasi ini dapat menciptakan konflik kepentingan yang nyata antara tanggung
jawab akuntan sebagai profesional dan kepentingan pribadinya secara finansial.
Selain itu, akuntan profesional juga memiliki tanggung jawab profesional kepada
masyarakat. Akan tetapi mereka bekerja untuk klien yang kepentingannya tidak
selalu terpenuhi dengan pengungkapan informasi yang menyeluruh, akurat dan
independen. Sedangkan mereka dibayar oleh tim manajemen yang memiliki
kepentingan yang bertentangan dengan kepentingan pemegang saham. Dengan
demikian, konflik yang nyata dan rumit dapat terjadi antara tugas profesional
dan kepentingan pribadi profesional itu sendiri yang mana jika para profesional
tidak mampu menahan diri maka dampak buruk yang diterima tidak hanya kepada
diri pribadi profesional tersebut melainkan kepada citra profesi secara
menyeluruh seperti yang dilakukan oleh KAP Arthur Andersen.
Tekuaknya kasus mega skandal Enron dan
KAP Arthur Andersen berdampak sangat buruk terhadap citra profesi akuntansi
secara keseluruhan hingga saat ini. Oleh karena itu, Kevin Bahr dalam Hartsman
dan Desjardins (2012) mengidentifikasi beberapa penyebab konflik kepentingan
dalam profesi akuntan, khususnya akuntan publik:
1.
Hubungan keuangan antara kantor akuntan
publik dengan klien auditnya.
2. Konflik di antara jasa-jasa yang
ditawarkan oleh kantor akuntan publik yaitu jasa konsultasi manajemen yang
mempengaruhi independensi dari opini perusahaan akibat adanya fee tambahan.
3.
Kurangnya independensi dan keahlian dari
komite audit.
4.
Peraturan yang dibuat sendiri oleh
organisasi profesi akuntan.
5.
Kurang aktifnya pemegang saham dalam
mengawasi dewan direksi dan manajemen.
6. Keserakahan jangka pendek eksekutif yang
bertentangan dengan kemakmuran pemegang saham jangka panjang.
7.
Adanya skema kompensasi eksekutif.
8. Skema kompensasi untuk analis sekuritas
yang menimbulkan konflik kepentingan potensial bagi analis tersebut.
Hal seperti contoh kasus di atas harus
dihindari baik oleh eksekutif dan juga profesi akuntan agar semua proses pengambilan
keputusan publik dilakukan secara profesional dan tidak menimbulkan kerugian
termasuk kerugian pribadi secara moral. Oleh karena itu, konflik kepentingan
dan keinginan terselubung menjadi masalah pada dunia bisnis dan profesi akuntan
yang secara etika semestinya tidak dilakukan.
Berikut beberapa upaya perusahaan dan
organisasi profesi dalam menghindari terjadinya konflik kepentingan di dalam
dunia bisnis dan profesi, yaitu:
1) Menghindarkan diri dari tindakan dan
situasi yang dapat menimbulkan konflik kepentingan antara kepentingan pribadi
dengan perusahaan sehingga konsekuensi buruk dapat diminimalisir.
2)
Memastikan bahwa seluruh karyawan,
manajer, dan profesional akuntansi memperhatikan dan mengetahui situasi-situasi
yang berhubungan dengan konflik kepentingan dan konsekuensi-konsekuensinya
melalui penyusunan kode etik dan pelatihan yang terkait.
3) Menginstruksikan karyawan, manajer dan
profesi akuntan untuk menjaga informasi-informasi perusahaan yang bersifat
rahasia.
4)
Karyawan, manajer, dan profesi akuntan
diminta untuk tidak memiliki bisnis yang sama dengan perusahaan dan perusahaan
menghormati hak setiap karyawan, manajer dan profesi akuntan untuk memiliki
kegiatan di luar jam kerja yang sah dan bebas dari konflik kepentingan.
5)
Mengungkapkan dan melaporkan setiap
kegiatan di luar perusahaan kepada atasan.
6) Menghindarkan diri dari memiliki
kepentingan baik finansial maupun non finansial terhadap perusahaan pesaing,
termasuk menghindari situasi yang dapat menimbulkan kesan akan adanya konflik
kepentingan.
7) Karyawan, manajer dan profesi akuntan
diminta untuk tidak memegang jabatan di luar perusahaan kecuali telah mendapat
persetujuan atasan.
II.
Etika
Dalam Tempat Kerja
Kemerosotan
nilai dalam dunia kerja juga diakui oleh ahli filsafat Franz Magnis Suseno,
bahwa etika dalam tempat kerja mulai tergeser oleh kepentingan pencapaian
keuntungan secepat-cepatnya. Eika sudah tidak ada lagi dan kegiatanekonomi
hanya dimaknakan sebagai usaha mencari uang dengan cepat. Akibatnya, perusahaan
memberlakukan karyawan dengan buruk dan tidak menghormati setiap pribadi. Etika
dalam profesionalisme bisnis. Ada dua hal yang terkandung dalam etika bisnis
yaitu kepercayaan dan tanggung jawab. Kepercayaan diterjemahkan kepada
bagaimana mengembalikan kejujuran dalam dunia kerja dan menolak stigma lama
bahwa kepintaran berbisnis diukur dari kelihaian memperdayasaingan. Sedangkan
tanggung jawab diarahkan atas mutu output sehingga insan bisnis jangan puas
hanya terhadap kualitas kerja yang asal-asalan.
Dalam
pandangan rasional tentang perusahaan, kewajiban moral utama pegawai adalah
untuk bekerja mencapai tujuan perusahaan dan menghindari kegiatan-kegiatan yang
mungkin mengancam tujuan tersebut. Jadi, bersikap tidak etis berarti menyimpang
dari tujuan-tujuan tersebut dan berusaha meraih kepentingan sendiri dalam
cara-cara yang jika melanggar hukum dapat dinyatakan sebagai salah satu bentuk
“kejahatan kerah putih”. Adapun beberapa praktik di dalam suatu pekerjaan yang
dilandasi dengan etika dengan berinteraksi di dalam suatu perusahaan, misalnya:
1)
Etika Terhadap Saingan
Kadang-kadang
ada produsen berbuat kurang etis terhadap saingan dengan menyebarkan rumor,
bahwa produk saingan kurang bermutu atau juga terjadi produk saingan dirusak
dan dijual kembali ke pasar, sehingga menimbulkan citra negatifdari pihak
konsumen.
2)
Etika Hubungan dengan Karyawan
Di
dalam perusahaan ada aturan-aturan dan batas-batas etika yang mengatur hubungan
atasan dan bawahan, Atasan harus ramah dan menghormati hak-hak bawahan,
Karyawan diberi kesempatan naik pangkat, dan memperoleh penghargaan.
3)
Etika dalam hubungan dengan public
Hubungan
dengan publik harus di jaga sebaik mungkin, agar selalu terpelihara hubungan
harmonis. Hubungan dengan public ini menyangkut pemeliharaan ekologi,
lingkungan hidup.
III.
Aktivitas
Bisnis Internasional – Masalah Budaya
Seorang
pemimpin memiliki peranan penting dalam membentuk budaya perusahaan. Hal itu
bukanlah sesuatu yang kabur dan hambar, melainkan sebuah gambaran jelas dan
konkrit. Jadi, budaya itu adalah tingkah laku, yaitu cara individu bertingkah
laku dalam mereka melakukan sesuatu.
Tidaklah
mengherankan, bila sama-sama kita telaah kebanyakan perusahaan sekarang ini.
Para pemimpin yang bergelimang dengan fasilitas dan berbagai kondisi kemudahan.
Giliran situasinya dibalik dengan perjuangan dan persaingan, mereka mengeluh
dan malah sering mengumpat bahwa itu semua karena SDM kita yang tidak kompeten
dan tidak mampu. Mereka sendirilah yang membentuk budaya itu (masalah budaya).
Semua karena percontohan, penularan dan panutan dari masing-masing pemimpin.
Maka timbul paradigma, mengubah budaya perusahaan itu sendiri.
Budaya
perusahaan memberi kontribusi yang signifikan terhadap pembentukan perilaku
etis, karena budaya perusahaan merupakan seperangkat nilai dan norma yang
membimbing tindakan karyawan. Budaya dapat mendorong terciptanya prilaku. Dan
sebaliknya dapat pula mendorong terciptanya prilaku yang tidak etis.
IV.
Akuntabilitas
Sosial
Akuntabilitas
adalah istilah umum untuk menjelaskan bagaimana sejumlah organisasi telah
memperlihatkan bahwa mereka sudah memenuhi misi yang mereka emban (Benveniste
dalam Lako, 2010). Akuntabilitas terkait erat dengan instrumen untuk kegiatan
kontrol terutama dalam hal pencapaian hasil pada pelayanan publik dan
menyampaikannya secara transparan kepada masyarakat (Afriyadi dalam Lako,
2011). Sesungguhnya, konsep tentang akuntabilitas secara harfiah dalam bahasa
Inggris biasa disebut dengan accountabilityyang diartikan sebagai “yang dapat
dipertanggungjawabkan” atau dalam kata sifat disebut sebagai accountable.
Pengertian accountabilitydanresponsibility seringkali diartikan sama. Padahal
maknanya jelas sangat berbeda yaitu responsibility diartikan sebagai “tanggung
jawab.”
Perusahaan
dan profesi harus mengakui bahwa walaupun mereka adalah utamanya untuk
shareholders saja tetapi kini mereka harus meningkatkan rangenya menjadi lebih
luas kepada stakeholders. Oleh karena itu, pada saat ini telah terjadi
pergeseran paradigma yaitu dari akuntabilitas kepada shareholders menjadi
akuntabilitas kepada stakeholders atau akuntabilitas sosial. Akibatnya
perusahaan dan para profesional, khususnya profes akuntan harus meningkatkan
perhatian dalam pengukuran, lebih dari sekedar laporan keuangan untuk memuaskan
para pemegang saham yang bervariasi, mengetahui seberapa baik teknik manajemen
bekerja dan apa yang harus dilaporkan kepada board committee demi memenuhi pengungkapan
dalam kontrak perjanjian tetapi juga sebesar apa tanggung jawabnya juga
kepada publik atau masyarakat (sosial).
Akuntabilitas
sosial menjadi isu etika karena banyaknya perusahaan yang tidak memperhatikan
tanggung jawabnya kepada sosial (masyarakat) melainkan hanya berorientasi
kepada para shareholder dan keuntungan yang maksmimum. Padahal, dunia bisnis
dituntut menyelaraskan pencapaian kinerja ekonomi (profit) dengan kinerja
sosial (people) dan kinerja lingkungan (planet) atau disebut tripple bottom-line
perfomance. Pencapaian itu pada akhirnya akan menempatkan perusahaan menjadi
good corporate citizen dan meraup keuntungan yang langgeng dan berlimpah
(multiplier benefits) serta perusahaan tumbuh dan berkembang secara
berkelanjutan (sustainable business). Oleh karena itu, bisnis hendaknya
melibatkan dan atau memperhitungkan masyarakat sekitar dalam setiap kegiatan
bisnisnya dan tidak mengabaikan mereka.
Tujuan
adanya akuntabilitas sosial antara lain adalah:
1) Untuk mengukur dan mengungkapkan dengan
tepat seluruh biaya dan manfaat bagi masyarakat yang ditimbulkan oleh
aktivitas-aktivitas yang berkaitan dengan produksi suatu perusahaan.
2) Untuk mengukur dan melaporkan pengaruh
kegiatan perusahaan terhadap lingkungannya, mencakup : financial dan managerial
social accounting, social auditing.
3) Untuk menginternalisir biaya sosial dan
manfaat sosial agar dapat menentukan suatu hasil yang lebih relevan dan
sempurna yang merupakan keuntungan sosial suatu perusahaan.
Ada dua dimensi utama dalam
akuntabilitas sosial. Pertama, melaporkan dan mengungkapkancosts dan benefits
dari aktivitas ekonomi perusahaan yang secara langsung berdampak pada
profitabilitas (laba). Costs dan benefits tersebut bisa dihitung dan dikuantifikasi
secara akuntansi.Kedua, melaporkan costs dan benefits dari aktivitas
ekonomi perusahaan yang berdampak langsung pada individu, masyarakat dan
lingkungan. Benefits itu sulit dikuantifikasi sehingga pelaporannya harus
dilakukan secara kualitatif.
Akuntabilitas sosial menjadi isu penting
saat ini dikarenakan kemajuan perkembangannya cukup lamban. Salah satu alasan
utama kemajuan akuntabilitas sosial menjadi lambat yaitu kesulitan dalam
pengukuran kontribusi dan kerugian. Proses pengukuran akuntabilitas sosial
terdiri dari tiga langkah, yaitu:
1. Menentukan biaya dan manfaat sosial
dengan memperhatikan sistem nilai masyarakat yang mana juga berguna dalam
mengidentifikasi kontribusi dan kerugian secara spesifik.
2.
Menghitung biaya dan manfaat dari
aktivitas yang menimbulkan biaya dan manfaat sosial yang ditentukan dari
kerugian dan kontribusi.
3.
Menempatkan nilai moneter pada jumlah
akhir.
V.
Manajemen
Krisis
Krisis
merupakan suatu kejadian besar dan tidak terduga yang memiliki potensi untuk
berdampak negatif maupun positif. Kejadian ini bisa saja menghancurkan
organisasi dan karyawan, produk, jasa, kondisi keuangan dan reputasi . Krisis
merupakan keadaan yang tidak stabil dimana perubahan yang cukup menentukan
mengancam, baik perubahan yang tidak diharapkan ataupun perubahan yang
diharapkan akan memberikan hasil yang lebih baik. Organisasi yang memikirkan
dampak negatif yang mungkin ditimbulkan dari suatu krisis akan berusaha untuk
mempersiapkan diri sebelum krisis tersebut terjadi. Bahkan ada peluang dimana
organisasi dapat mengubah krisis menjadi suatu kesempatan untuk memperoleh
dukungan publik
Sebab
Krisis Krisis terjadi apabila ada benturan kepentingan antara organisasi dengan
publiknya. Secara umum dapat dijelaskan bahwa penyebab krisis adalah
1.
Sebab Umum:
· Gangguan
kesejahtraan dan rasa aman
· Tanggung
jawab sosial diabaikan
2.
Sebab Khusus:
· Kesalahan
pengelola yang mengganggu lapisan bawah
· Penurunan
profit yang tajam
· Penyelewengan
· Perubahan
permintaan pasar
· Kegagalan/penarikan
produk
· Regulasi
dan deregulasi
· Kecelakaan
atau bencana alam
Suatu
krisis menurut pendapat Steven Fink dapat dikategorikan kedalam empat level
perkembangan, yakni:
1.
Tahap Prodomal
Krisis
pada tahap ini sering dilupakan orang karena perusahaan masih bisa bergerak
dengan lincah. Padahal pada tahap ini, bukan pada tahap krisis sudah kronis
(meledak), krisis sudah mulai muncul. Tahap prodromal sering disebut pula warning
stage karena ia memberi sirene tanda bahaya mengenai simtom-simtom yang
harus segera diatasi.
Tahap
ini juga merupakan bagian dari turning point. Bila manajemen gagal
mengartikan atau menangkap sinyal ini, krisis akan bergeser ke tahap yang lebih
serius: tahap akut.
Contoh:
Kasus rush nasabah bank BCA tahun 1998
2.
Tahap Akut
Meski
bukan di sini awal mulanya krisis, orang menganggap suatu krisis dimulai dari
sini karena gejala yang samar-samar atau sama sekali tidak jelas itu mulai
kelihatan jelas. Dalam banyak hal, krisis yang akut sering disebut
sebagai the point of no return. Artinya, sekali sinyal – sinyal yang
muncul pada tahap peringatan (prodromal) tidak digubris, ia akan masuk ke
tahap akut dan tidak bisa kembali lagi. Kerusakan sudah mulai bermunculan,
reaksi mulai berdatangan, isu menyebar luas. Namun , berapa besar kerugian lain
yang akan muncul amat tergantung dari para aktor yang mengendalikan krisis.
Salah
satu kesulitan besar dalam menghadapi krisis pada tahap akut adalah intensitas
dan kecepatan serangan yang datang dari berbagai pihak yang menyertai tahap
ini. Kecepatan ditentukan leh jenis krisis yang menimpa perusahaan, sedangkan
intensitas ditentukan oleh kompleksnya permasalahan.
3.
Tahap Kronis
Organisasi
masih merasakan dampak dari krisis yang terjadi dan terkadang dampak ini bisa
lebih lama dari krisis itu sendiri. Tahap ini disebut sebagai tahap recovery atau self analysis.
Di dalam perusahaan, tahap ini ditandai dengan perubahan struktural.
Berakhirnya tahap akut dinyatakan dengan langkah-langkah pembersihan.
Contoh:
Kasus tumpahan minyak Kapal Exxon Valdez (1989).
4.
Tahap Resolusi (Penyembuhan)
Tahap
ini adalah tahap penyembuhan (pulih kembali) dan tahap terakhir dari 4 tahap
krisis. Meski bencana besar dianggap sudah berlalu, tetap perlu berhati-hati,
karena riset dalam kasus-kasus krisis menunjukkan bahwa krisis tidak akan
berhenti begitu saja pada tahap ini. Krisis umumnya berbentuk siklus yang akan
membawa kembali pada keadaan semula (prodromal).
CONTOH KASUS
Pada
awal tahun 2001 patner KAP Andersen melakukan evaluasi terhadap kemungkinan
mempertahankan atau melepaskan Enron sebagai klien perusahaan, mengingat resiko
yang sangat tinggi berkaitan dengan praktek akuntansi dan bisnis enron. Dari
hasil evaluasi di putuskan untuk tetap mempertahankan Enron sebagai klien KAP
Andersen dan Salah seorang eksekutif Enron di laporkan telah memepertanyakan
praktek akunting perusahaan yang dinilai tidak sehat dan mengungkapkan
kekhawatiran berkaitan dengan hal tersebut kepada CEO dan partner KAP Andersen
pada pertengahan 2001. CEO Enron menugaskan penasehat hukum perusahaan untuk
melakukan investigasi atas kekhawatiran tersebut tetapi tidak memperkenankan
penasehat hukum untuk mempertanyakan pertimbangan yang melatarbelakangi
akuntansi yang dipersoalkan. Hasil investigasi oleh penasehat hukum tersebut
menyimpulkan bahwa tidak ada hal-hal yang serius yang perlu diperhatikan.
Pada
tanggal 16 Oktober 2001, Enron menerbitkan laporan keuangan triwulan ketiga.
Dalam laporan itu disebutkan bahwa laba bersih Enron telah meningkat menjadi
$393 juta, naik $100 juta dibandingkan periode sebelumnya. CEO Enron, Kenneth
Lay, menyebutkan bahwa Enron secara berkesinambungan memberikan prospek yang
sangat baik. Ia juga tidak menjelaskan secara rinci tentang pembebanan biaya
akuntansi khusus (special accounting charge/expense) sebesar $1 miliar yang
sesungguhnya menyebabkan hasil aktual pada periode tersebut menjadi rugi $644
juta. Para analis dan reporter kemudian mencari tahu lebih jauh mengenai beban
$1 miliar tersebut, dan ternyata berasal dari transaksi yang dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan yang didirikan oleh CFO Enron.
Pada
tanggal 2 Desember 2001 Enron mendaftarkan kebangkrutan perusahaan ke
pengadilan dan memecat 5000 pegawai. Pada saat itu terungkap bahwa terdapat
hutang perusahaan yang tidak di laporkan senilai lebih dari satu milyar dolar.
Dengan pengungkapan ini nilai investasi dan laba yang di tahan (retained
earning) berkurang dalam jumlah yang sama. Enron dan KAP Andersen dituduh telah
melakukan kriminal dalam bentuk penghancuran dokumen yang berkaitan dengan
investigasi atas kebangkrutan Enron (penghambatan terhadap proses peradilan ).
Dana pensiun Enron sebagian besar diinvestasikan dalam bentuk saham Enron.
Sementara itu harga saham Enron terus menurun sampai hampir tidak ada nilainya.
KAP Andersen diberhentikan sebagai auditor enron pada pertengahan juni 2002.
Sementara
KAP Andersen menyatakan bahwa penugasan Audit oleh Enron telah berakhir pada
saat Enron mengajukan proses kebangkrutan pada 2 Desember 2001. CEO Enron,
Kenneth Lay mengundurkan diri pada tanggal 2 Januari 2002 akan tetapi masih
dipertahankan posisinya di dewan direktur perusahaan. Pada tanggal 4 Pebruari
Mr. Lay mengundurkan diri dari dewan direktur perusahaan.
Tanggal
28 Pebruari 2002 KAP Andersen menawarkan ganti rugi 750 Juta US dollar untuk
menyelesaikan berbagai gugatan hukum yang diajukan kepada KAP Andersen. Pemerintahan Amerika (The US General Services Administration) melarang Enron
dan KAP Andersen untuk melakukan kontrak pekerjaan dengan lembaga pemerintahan
di Amerika. Tanggal 14 Maret 2002 departemen kehakiman Amerika memvonis KAP Andersen
bersalah atas tuduhan melakukan penghambatan dalam proses peradilan karena
telah menghancurkan dokumen-dokumen yang sedang di selidiki. KAP Andersen terus
menerima konsekwensi negatif dari kasus Enron berupa kehilangan klien,
pembelotan afiliasi yang bergabung dengan KAP yang lain dan pengungkapan yang
meningakat mengenai keterlibatan pegawai KAP Andersen dalam kasus Enron. Tanggal
22 Maret 2002 mantan ketua Federal Reserve, Paul Volkcer, yang direkrut untuk
melakukan revisi terhadap praktek audit dan meningkatkan kembali citra KAP
Andersen mengusulkan agar manajeman KAP Andersen yang ada diberhentikan dan
membentuk suatu komite yang diketuai oleh Paul sendiri untuk menyusun manajemen
baru. Tanggal 26 Maret 2002 CEO Andersen Joseph Berandino mengundurkan diri dari
jabatannya. Tanggal 8 April 2002 seorang partner KAP Andersen, David Duncan,
yang bertindak sebagai penanggungjawab audit Enron mengaku bersalah atas
tuduhan melakukan hambatan proses peradilan dan setuju untuk menjadi saksi
kunci dipengadilan bagi kasus KAP Andersen dan Enron. Tanggal 9 April 2002
Jeffrey McMahon mengumumkan pengunduran diri sebagai presiden dan Chief
Opereting Officer Enron yang berlaku efektif 1 Juni 2002. Tanggal 15 Juni 2002 juri federal di Houston menyatakan KAP Andersen bersalah
telah melakukan hambatan terhadap proses peradilan.
KESIMPULAN
Pihak
manajemen Enron telah melakukan berbagaimacam pelanggaran praktik bisnis yang
sehat melakukan (Deception, discrimination of information, coercion, bribery)
dan keluar dari prinsif good corporate governance.Akhirnya Enron harus menuai
suatu kehancuran yang tragis dengan meninggalkan hutang milyaran dolar.
KAP
Andersen sebagai pihak yang seharusnya menjungjung tinggi independensi, dan
profesionalisme telah melakukan pelanggaran kode etik profesi dan ingkar dari
tanggungjawab terhadap profesi maupun masyarakat diantaranya melalui Deception,
discrimination of information, coercion, bribery. Akhirnya KAP Andersen di
tutup disamping harus mempertanggungjawabkan tindakannya secara hukum.
KRITIK DAN SARAN
Dari
berbagai macam kasus di atas harus menjadi sebuah pelajaran sesungguhnya suatu
praktik atau prilaku yang dilandasi dengan ketidak baikan maka akhirnya akan
menuai ketidak baikan pula termasuk kemadharatan bagi banyak pihak.Hal ini
bukan hanya berlaku di Amerika Serikat tetapi bagi semua orang/pihak yang ada
di belahan dunia ini.
SUMBER